Orang Muda Berdaya, Dunia Maya Tanpa Bahaya, Bebaskan Ruang Sipil
Oleh : Iva Hasanah
Jika dahulu perempuan menghadapi keterbatasan akses terhadap media karena minimnya pendidikan dan ruang berpendapat, saat ini dengan hadirnya teknologi digitalisasi berupa media sosial, platform digital dan sejenisnya seharusnya membuka peluang besar bagi perempuan untuk lebih berdaya dalam segala bidang. Namun, kenyataannya perkembangan dunia digitalisasi membawa pada kondisi ambiguitas terutama pada perempuan. Alih – alih mendorong keberdayaan perempuan, yang sering ditemukan adalah ancaman yang tidak kalah besar seperti pelecehan online, penyebaran data pribadi, cyberstalking, body shaming, dan penyebaran konten tanpa izin yang kini semakin meningkat atau diistilahkan sebagai tindak kekerasan berbasis gender online (KBGO). Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Anak tahun 2024 menemukan bahwa kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di Indonesia naik 4 (empat) kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 118 kasus di triwulan I tahun 2023 menjadi 480 kasus pada triwulan I tahun 2024, dipertegas oleh Menteri PPPA jika korban KBGO pada rentang usia 18-25 tahun menjadi kelompok terbanyak, yaitu 272 kasus atau 57 persen dan diikuti anak-anak rentang usia di bawah 18 tahun dengan 123 kasus atau 26 persen. KBGO sangat berdampak buruk bagi banyaknya perempuan karena dari aspek psikologis maupun emosional, dan tentunya mengurangi rasa aman bagi perempuan saat berada di ruang digital.
Permasalahan diatas menjadi argumen kuat pentingnya membaca ulang kesejarahan Kartini dalam melawan penindasan pada jamannya. Ada 3 hal yang relevan dalam isi surat-surat Kartini terhadap kondisi Kekerasan Berbasis Gender Online saat ini:
- Keyakinan beragama yang masih bias gender
Kritik terhadap tafsir agama dan adat yang masih patriarki, yang dikutip dari suratnya kepada Stella Zeehandelaar, 1902 “Agama seharusnya membebaskan, bukan membelenggu, tapi lihatlah, dibawa nama agama, perempuan dipaksa menutup mulut dan menerima takdirnya”. Kontek ini sangat relevan karena saat ini masih banyak perempuan korban yang malu bahkan rela sampai kehilangan nyawa untuk tidak bersuara. Spirit Kartini dalam poin ini ingin mendorong tafsir ulang nilai-nilai agama dan budaya yang lebih manusiawi dan berkeadilan gender bukan sebaliknya diinterpretasikan agama dan adat untuk melegitimasi penindasan terhadap perempuan.
- Rendahnya tingkat kesadaran terhadap pembelaan pada penyintas kekerasan
Pentingnya Memperkuat Sisterhood, seperti yang ditulisnya “ Bangkitlah saudari-saudariku!Jangan biarkan mereka terus menginjak harga diri kita. Kita adalah manusia bukan barang mati” surat ini seperti seruan pada perempuan Jawa, 1903. Bagi Kartini dia percaya jika perempuan bersatu maka ketidakadilan akan musnah. Kartini juga menginspirasi gerakan aksi kolektif untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, termasuk akses terhadap perlindungan pada perempuan dan kebebasan pendapat.
- Tatanan masyarakat yang belum inklusif
Membangun Tatanan Masyarakat yang Inklusif. Kehebatan Kartini tidak hanya mampu mengkritik kondisi yang dialami, namun juga tajam menganalisis masa depan, gagasan yang diidamkan adalah bagaimana adanya tatanan masyarakat yang setara dan menghargai kelompok apapun tanpa diskriminasi. Seperti pada kutipan surat berikut “Kemajuan bangsa ini terletak pada pendidikan dan kebebasan berpikir, perempuan harus menjadi bagian dari kemajuan itu”. Visi Kartini ini yang relevan untuk mengingatkan perempuan muda untuk tidak didiskriminasi dalam bidang pembangunan bahkan juga mendapat posisi yang setara dan strategis dalam setiap perubahan sosial, hingga bebas dari tindakan kekerasan dan eksploitasi dalam bentuk apapun.
Permasalahan kekerasan terhadap perempuan tidak akan mereda bahkan hilang jika tidak ada peran pemangku kewajiban dalam pemenuhan hak asasi perempuan. Terutama fungsi sebagai penyusun regulasi layanan perlindungan bagi penyintas dan menegakkan hukuman yang berat pada pelakunya. Sejak Undang-Undang No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan, belum banyak perubahan pada perilaku maupun mekanisme penyelesaian kasus yang terjadi. Harapan besar juga diletakkan pada pemerintahan yang baru terpilih saat ini, apakah komitmen politis berbanding lurus pada keberpihakannya terhadap penyintas terutama nasib perempuan dan anak. (va).