Gender watch adalah suatu strategi untuk mengadvokasi kebijakan berbasis bukti yang pro-perempuan. Gender Watch dikembangkan untuk meningkatkan akses dan partisipasi perempuan miskin dan marginal terhadap program perlindungan sosial pemerintah. Peningkatan akses ini dimulai dengan membangun kapasitas perempuan miskin melalui pengorganisasian akar rumput lewat Sekolah Perempuan di 6 propinsi di Indonesia yaitu Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Jakarta dan Sumatera Barat. Kabupaten Gresik adalah salah satu pilot project di Jawa Timur. Di sekolah perempuan, perempuan mengumpulkan data, bekerja dengan banyak pemangku kepentingan menyampaikan data yang mereka peroleh ke pengambil kebijakan dan mengawal Musrenbang desa sampai kabupaten. Kerja dan kontribusi Sekolah Perempuan dalam pembangunan mendorong Pemerintah Kabupaten Gresik berkomitmen untuk mengalokasikan anggaran untuk sekolah perempuan dan mereplikasi sekolah perempuan di beberapa desa. Komitmen pemerintah daerah ini dituangkan dalam RPJMD, RKPD dan Peraturan Bupati. Paper ini akan mempresentasikan proses dan pengalaman pengorganisasian di akar rumput dan upaya advokasi berbasis data sehingga strategi advokasi kebijakan yang menekankan pengorganisasian perempuan akar rumput melalui sekolah-sekolah perempuan, yang telah menarik perhatian pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran di tingkat desa sampai kabupaten.
Keywords : gender watch, analisa feminis, perempuan akar rumput, advokasi berbasis bukti, kepemimpinan perempuan.
Pendahuluan
“Win (27 tahun) sebagai ibu rumah tangga miskin mempunyai kartu Jamkesmas, saat hamil anak ke-2 dia kebingungan untuk menentukan di mana dia akan melahirkan nanti. Bidan desa tempat dia tinggal menyarankan untuk pergi ke rumah sakit yang paling dekat dengan rumahnya, tetapi rumah sakit ini letaknya beda kabupaten, sebenarnya dia ingin menggunakan kartu Jamkesmas dan melahirkan di rumah sakit umum daerah di kota Gresik tapi jarak tempuh sekitar 50 km , dia berpikir tidak ada biaya transportasi untuk pulang pergi dari RSUD walaupun semua pelayanan gratis dengan Jamkesmas kalaupun menggunakan ambulan puskesmas sopirnya tidak mesti ada. Dalam kondisi kalut akhirnya dia menuruti saran bidan desa dan mengeluarkan uang untuk biaya melahirkan anaknya, karena uang berasal dari hutang maka sekarang kondisi ekonominya semakin sulit karena harus mengangsur. Kondisi kemiskinan yang dia alami telah berdampak pada ketidakmampuannya untuk membuat keputusan atas dirinya sendiri sebagai perempuan, apalagi untuk keluarganya”
Fakta ini merupakan bagian dari potret pemiskinan perempuan di desa Mondoluku Wringinanom Gresik yang merupakan salah satu desa perbatasan yang jauh dari akses ketersediaan fasilitas umum di kabupatennya sendiri. Tidak hanya disebabkan oleh kurangnya pendapatan atau faktor ekonomi, tetapi juga faktor sosial turut berkontribusi di dalamnya. Misalnya, pandangan-pandangan masyarakat bahwa peran perempuan hanya sebatas urusan domestik rumah tangga. Pandangan ini mengurung perempuan dalam konteks yang terbatas sehingga tidak memiliki akses terhadap pekerjaan layak bahkan ruang-ruang pengambilan keputusan penting di desanya. Padahal dalam kesehariannya perempuan harus bertanggungjawab dan memastikan seluruh kebutuhan rumah tangga terpenuhi. Akibatnya kalau perempuan ada dalam kategori Rumah Tangga Miskin (RTM) maka akan sulit bagi mereka untuk keluar dari kondisi kemiskinannya.
Selama ini perempuan miskin tidak pernah terhitung sebagai stakeholder penting dalam penyelesaian masalah kemiskinan. Karena eksistensinya tidak pernah diperhitungkan maka, program-program penanggulangan kemiskinan tidak menyentuh pada perubahan kondisi pemiskinan yang mereka alami. (va).