Oleh: Yanuar Nugroho (Dosen STF Driyarkara, Jakarta; Visiting Senior Fellow ISEAS-Singapore; Anggota AIPI; Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI 2015-2019)
Setelah pesta pora usai, biasanya realita segera menerpa. Ungkapan ini mungkin menggambarkan situasi kenegaraan kita. Enam bulan setelah Prabowo dilantik menjadi presiden, berbagai persoalan yang dihadapi negeri ini, baik domestik maupun dampak geopolitik, tak kunjung terlihat jalan keluarnya, bahkan bertambah pelik.
Di sektor ekonomi, kebijakan seperti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen dan penerapan iuran Tapera—meski lalu ditunda—telah memicu kekhawatiran kelas menengah yang didera beban fiskal tambahan. Sementara, program-program bantuan sosial dinilai belum efektif menjangkau kelompok rentan.
Di ranah hukum dan keadilan, publik menilai buruknya penegakan hukum, masifnya konflik kepentingan, dan ketimpangan akses ke layanan publik sebagai tantangan utama pemerintahan. Ini diperparah dengan pemotongan anggaran kementerian/lembaga (K/L) yang dianggap serampangan hingga melumpuhkan kinerja pemerintah sendiri.
Secara geopolitik, kebijakan tarif yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) menambah tekanan pada ekonomi nasional. Tarif 32 persen pada ekspor Indonesia ke AS memicu kekhawatiran dampaknya ke sektor-sektor seperti tekstil dan kerajinan.
Menghadapinya, Indonesia memilih pendekatan diplomatik—menawarkan peningkatan impor produk AS, termasuk energi dan pertanian, senilai hingga 19 miliar dollar AS guna mengurangi surplus perdagangan dan menghindari tarif tersebut.
Selain itu, membuka keran dan menghapus kuota impor. Namun, langkah ini dikritik karena dianggap merugikan produsen domestik dan memperlemah posisi tawar Indonesia dalam perdagangan internasional. Langkah ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai strategi jangka panjang pemerintah dalam menghadapi tekanan eksternal dan menjaga kemandirian ekonomi nasional.
Parahnya, ini semua berlangsung di tengah kegagapan pemerintahan Prabowo memenuhi janji-janji politiknya sendiri. Makan Bergizi Gratis (MBG) yang per Maret 2025 baru diberikan pada dua juta dari janji 82,9 juta siswa dan baru menyerap Rp 700 miliar dari alokasi Rp 171 triliun tahun ini.
Kesimpangsiuran—jika bukan pengingkaran—janji tiga juta rumah gratis untuk rakyat miskin. Ketidakjelasan strategi ekspansi bansos akibat persoalan akses dan akurasi data terpadu sosial ekonomi nasional (DTSEN). Belum lagi rencana penyiapan food estate yang dikhawatirkan membabat jutaan hektar hutan, atau janji menyediakan jutaan lapangan kerja, padahal pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang 2024 hingga Februari 2025 telah menelan 250.000 korban. Banyak lainnya lagi.
Namun, menghadapi seluruh persoalan ini, respons pemerintah tak terlihat solid: tata kelola pembangunan tidak terkoordinasi dan tak ada kendali pada perencanaan dan eksekusi. Seolah-olah pemerintahan baru ini ”lumpuh” menghadapi situasi. Mengapa ini terjadi?
Tersingkirnya teknokratisme
Tak bisa disangkal, muncul kegelisahan: apakah era teknokratisme yang menjadi tulang punggung tata kelola pembangunan selama dua dekade terakhir telah ditinggalkan, jika bukan tengah menuju kematian pelan-pelan?
Pertama, erosi peran teknokrat dan teknokrasi dalam perancangan dan eksekusi kebijakan strategis. Selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Joko Widodo (Jokowi), khususnya periode pertama, para teknokrat, seperti Kuntoro Mangkusubroto, Sri Mulyani Indrawati, Sofyan Djalil, dan Bambang Brodjonegoro, memainkan peran penting di kementerian kunci dan reformasi sektor publik.
Namun, di bawah Prabowo, ada indikasi posisi-posisi strategis lebih banyak diisi tokoh militer atau politisi partai ketimbang teknokrat profesional.
Kedua, terjadi politisasi dan personalisasi kekuasaan. Berbeda dari SBY yang cenderung akademis atau Jokowi yang praktikal, gaya kepemimpinan Prabowo cenderung mengandalkan loyalitas pribadi dibandingkan proses deliberatif berbasis nalar kelembagaan. Model ini bertentangan dengan logika teknokratis yang menekankan koordinasi lintas institusi, pengambilan keputusan berbasis data, dan akuntabilitas sistemik.
Ketiga, tampak jelas simbolik matinya paradigma perencanaan. Program unggulan, seperti MBG, meski tujuannya mulia, dipandang tak realistis secara fiskal dan operasional. Program ini digulirkan tanpa studi kelayakan mendalam dari K/L, seperti Bappenas atau Badan Kebijakan Fiskal, menandakan melemahnya proses perumusan kebijakan berbasis perencanaan teknokratis.
Keempat, marjinalisasi institusi perencana dan penguatan politik transaksional. Di era Jokowi, Bappenas masih memiliki peran penting dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)/Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai terjemahan dari janji politik Nawacita.
Namun dalam pemerintahan Prabowo, posisi perencana melemah dan arah kebijakan—terjemahan Astacita dalam program pembangunan—lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan elektoral jangka pendek atau kompromi antara partai politik dan oligarki ekonomi.
Bagaimana memaknai situasi ini?
Immanuel Kant dalam Critique of Practical Reason (1788) menyatakan, ”Kebahagiaan bukanlah cita-cita dari nalar, melainkan dari imajinasi.”
Dalam pembangunan, kebahagiaan publik kerap dibayangkan secara utopis: kemiskinan nol persen, layanan kesehatan universal, pendidikan gratis, atau keadilan sosial bagi semua.
Namun, di balik imajinasi itu, ada pekerjaan besar bersifat teknis, administratif, dan sering kali tak tampak: menyusun regulasi, mengelola anggaran, merancang sistem, memastikan kebijakan berjalan. Inilah tugas utama teknokrat: mengonkretkan imajinasi kebahagiaan menjadi kebijakan nyata dan terukur.
Peran teknokrat bukan sekadar menjalankan perintah politik, melainkan menyusun peta jalan menjembatani antara visi dan realisasi. Ketika janji politik menyebutkan pemerataan layanan pendidikan dan kesehatan, teknokrat harus menyusun skema pendanaan, memastikan distribusi sumber daya yang adil, serta merancang sistem birokrasi yang efisien dan inklusif.
Ketika pemerintah menjanjikan subsidi pangan atau energi, teknokrat harus menakar ketepatan sasaran tanpa mengorbankan keberlanjutan fiskal. Bahkan, ketika Presiden berambisi menjalankan program populis, teknokrat yang kredibel seharusnya bukan sekadar mengiyakan, melainkan mengajukan skenario, risiko, dan parameter keberhasilan.
Teknokrat sejati adalah mereka yang menjaga nalar dalam dunia yang penuh imajinasi. Mereka tidak anti-politik, tapi tahu bahwa kebijakan publik bukan hanya tentang popularitas, melainkan juga tentang efektivitas dan dampak.
Di tengah realitas pemerintahan yang makin politis dan transaksional, suara teknokrat bukan untuk menyaingi otoritas politik, melainkan menjaga agar janji-janji besar tak berakhir sebagai kegagalan kolektif. Karena pada akhirnya, kebahagiaan publik tak cukup dibayangkan—ia harus dirancang dan dijalankan dengan akal sehat, keahlian, dan integritas.
Maka, jangan heran bila euforia kemenangan pemilu dan pemerintahan baru segera memudar ketika teknokratisme ditinggalkan dan kabinet mulai bekerja tanpa arah—seperti kini terjadi.
Teknokratisme sebagai kunci
Teknokratisme, dalam arti idealnya, adalah praktik pengambilan kebijakan berbasis pada keahlian, bukti ilmiah, dan rasionalitas institusional. Akar pemikiran ini berasal sejak Plato, yang di The Republic memimpikan negara dipimpin para filsuf-raja, mereka dengan pengetahuan mendalam dan kebijaksanaan moral untuk memerintah secara adil.
Gagasan ini lalu dikembangkan Max Weber dalam rational-legal authority (1921), di mana birokrasi modern seharusnya dibangun atas dasar keahlian, aturan impersonal dan hierarki profesional, bukan hanya warisan atau karisma.
Di abad ke-20, teknokratisme tampil menonjol dalam model pembangunan berbagai negara. Di AS, New Deal di bawah FD Roosevelt melibatkan para ahli untuk merancang kebijakan menghadapi Great Depression. Di Perancis pasca-Perang Dunia II, elite administratif, seperti lulusan École Nationale d’Administration, memimpin perencanaan ekonomi.
Negara-negara Asia Timur, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura, menunjukkan bahwa teknokrat yang kuat dapat memfasilitasi industrialisasi dengan cepat dan pembangunan yang stabil. Bahkan di Indonesia, teknokrat seperti Widjojo Nitisastro dan kelompok ’Mafia Berkeley’ memainkan peran penting dalam menstabilkan ekonomi Orde Baru meskipun di bawah otoritarianisme Soeharto.
Di era Reformasi pasca-1998 teknokratisme mulai diintegrasikan dalam kerangka demokrasi. Dari Boediono hingga Sri Mulyani, para teknokrat memimpin kebijakan fiskal dan perencanaan pembangunan dengan prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan. K/L, seperti Bappenas, Kemenkeu, dan LIPI, memainkan peran penting menyusun berbagai rencana pembangunan dan menerjemahkan visi politik menjadi kerangka kebijakan dan prioritas nasional pemerintah.
Namun, sinyal-sinyal kemunduran mulai menguat 5-6 tahun ini. Pada periode kedua Jokowi, terjadi pergeseran signifikan: jabatan strategis mulai didominasi aktor politik koalisi dan relasi transaksional kian menguat. K/L perencana, seperti Bappenas, mulai kehilangan daya tawar dalam menentukan arah pembangunan. Pragmatisme politik mengalahkan perencanaan rasional-teknokratik.
Kini, pada pemerintahan Prabowo, kekhawatiran itu mencapai titik nadir. Gaya kepemimpinan Prabowo yang sentralistik dan militeristik membawa kecenderungan: konsentrasi kekuasaan pada figur Presiden, dan melemahnya proses deliberatif dalam penyusunan kebijakan. Program populis, seperti MBG dan tiga juta rumah gratis, misalnya, berjalan tanpa kajian teknokratis mendalam, lebih didorong logika elektoral ketimbang kerangka fiskal dan logistik yang solid.
Jelas, ini bukan sekadar pergeseran gaya kepemimpinan, melainkan indikasi melemahnya institusi teknokratis penopang kebijakan pembangunan selama ini. Ketika teknokrat hanya menjadi pelaksana teknis dan bukan perancang kebijakan strategis, yang hilang adalah visi jangka panjang dan kohesivitas sistemik dalam pembangunan nasional. Dalam kondisi ini, apa yang mesti dilakukan?
Menyelamatkan teknokratisme
Menyelamatkan teknokratisme yang sudah sekarat—jika belum mati—di republik ini butuh kerja keras dari dua sisi.
Dari sisi teknokrat, mereka mesti keluar dari zona nyaman akademiknya. Komunikasi dengan pembuat kebijakan perlu ditingkatkan, bukan hanya dalam bentuk laporan teknis, melainkan narasi yang bisa dimengerti dan relevan dengan kepentingan publik serta dinamika politik. Para teknokrat harus belajar memahami realitas politik dan menyesuaikan gaya komunikasi mereka tanpa kehilangan integritas keilmuannya.
Perlu dibangun jembatan antara kompleksitas kebijakan dan kebutuhan praktis pengambil keputusan. Lembaga seperti Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Dewan Guru Besar (DGB), atau berbagi lembaga riset publik (misal SMERU, CSIS, dan lainnya) bisa memainkan peran penting ini.
Gagasan ”intelektual organik” Antonio Gramsci (Prison Notebook #12, 1932) merujuk pada peran intelektual—dan teknokrat—yang tak berdiri netral atau terpisah dari masyarakat, tetapi terikat secara langsung dan berkontribusi aktif dalam perjuangan mereka.
Berbeda dengan ”intelektual tradisional” yang cenderung mempertahankan status quo dan memposisikan diri sebagai pengamat netral, intelektual organik mengartikulasikan kepentingan kolektif, membangun kesadaran kritis, dan jadi bagian dari proyek perubahan sosial. Ini lah teknokrat—dan intelektual—yang dibutuhkan guna menghidupkan kembali teknokratisme dalam pembangunan.
Sebaliknya, para pembuat kebijakan perlu lebih terbuka terhadap masukan dan kritik berbasis data. Mereka harus menjadikan keahlian sebagai aset, bukan ancaman. Pemerintah yang kuat adalah yang berani dikelilingi orang-orang pintar dan kritis, bukan takut apalagi mengancam mereka.
Undang teknokrat dan akademisi ke dalam lingkaran kekuasaan—bukan sekadar sebagai konsultan—melainkan bagian dari pemerintahan: menteri, dirjen, staf ahli, atau bahkan kepala daerah. Ini bukan hanya soal perbaikan kebijakan, melainkan menyelamatkan masa depan demokrasi dan pembangunan kita.
Tentu, teknokratisme bukan tanpa cacat. Kritik terhadap elitisme teknokratis, eksklusivisme, dan minimnya partisipasi publik itu valid. Jürgen Habermas mengingatkan: dominasi rasionalitas instrumental—di mana tujuan lebih penting daripada proses deliberatif—dapat mengikis ruang publik sebagai ajang diskusi demokratis (The Theory of Communicative Action, 1981).
Sementara, James C Scott (Seeing Like a State, 1988) menunjukkan bagaimana proyek-proyek pembangunan yang terlalu digerakkan logika teknokratik cenderung mengabaikan pengetahuan lokal dan kompleksitas sosial sehingga menghasilkan kegagalan kebijakan meski secara teknis tampak rasional.
Namun, ideal teknokratisme tetaplah relevan, khususnya tentang evidence-based policy (EBP)—pengambilan keputusan publik yang didasarkan pada bukti empiris dan evaluasi sistematis. EBP menekankan pentingnya data, eksperimen, dan evaluasi dampak dalam proses formulasi dan implementasi kebijakan.
EBP tak meniadakan politik, tetapi justru memperkuat kapasitas negara untuk merespons tantangan kompleks secara adaptif, transparan, dan akuntabel. Ia menjadi jembatan antara kepentingan politik dan rasionalitas publik.
Ke depan: teknokratisme demokratis
Karena itu, tidak cukup hanya menyelamatkan teknokratisme; ia harus diperbarui. Kita perlu teknokratisme yang demokratis dan kontekstual: di mana keahlian tidak menjadi menara gading, tapi hadir di tengah masyarakat; di mana kebijakan bukan hanya soal efisiensi dan pertumbuhan, melainkan juga soal keadilan, partisipasi, dan keberlanjutan.
Model ini menuntut para teknokrat menyederhanakan bahasa, meningkatkan empati, dan membuka dialog dengan warga serta pembuat kebijakan.
Pembaruan ini sekaligus menuntut keberanian politik. Pemerintahan yang kuat bukanlah yang membungkam kritik, melainkan sanggup mengundang tegangan konstruktif antara idealisme dan realitas. Demokrasi bukan hanya tentang suara mayoritas, melainkan keberanian mendengarkan suara minoritas yang berbasis pada bukti, riset, dan pengalaman lapangan. Membuka ruang bagi teknokrat dan akademisi di posisi strategis bukan ancaman terhadap stabilitas, tapi fondasi membangun tata kelola yang tangguh.
Jika kebijakan dibiarkan digerakkan intuisi politik semata tanpa koreksi dari pengetahuan, bukti, dan data, yang lahir bukan pemerintahan kuat, melainkan pemerintahan rapuh yang gampang digoyang krisis. Tanpa perencanaan jangka panjang, negara akan selalu reaktif; tanpa data dan evaluasi, kebijakan akan kehilangan arah; tanpa suara ahli, pembangunan akan kehilangan substansi.
Maka, pertaruhannya bukan sekadar mana yang lebih kuat atau berpengaruh—teknokrat atau politisi—melainkan masa depan kita sendiri: apakah kita ingin membangun republik kuat yang berpijak pada akal sehat, atau membiarkan negeri terombang-ambing improvisasi tanpa kompas penuntun arah dan langkah?
Pilihan itu bukan di tangan presiden dan para menteri, melainkan di tangan kita—publik yang berani menuntut kebijakan pembangunan yang waras, adil, dan berbasis bukti.