“Negara Baik” Responsif Gender di Tengah Pandemi

“Negara Baik” Responsif Gender di Tengah Pandemi

Pandemi Covid-19 memunculkan wajah lain negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Dalam sejarah negara modern, baru di tahun 2020 dan 2021, negara Indonesia sangat budiman terhadap warganya. Begitu banyak bantuan langsung ke rakyat Indonesia. Terhitung di 2020, untuk penangangan Covid-19, pemerintah menaikan anggaran dari Rp 677,2 trilyun menjadi Rp 695,2 trilyun. Anggaran tersebar; Rp 123,46 trilyun bantuan UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah), Rp 120,61 trilyun insentif usaha, Rp 203,90 trilyun untuk program perlindungan sosial, Rp 87,55 trilyun kesehatan, dan Rp 53,57 trilyun pembiayaan korporasi, serta Rp 106,11 trilyun untuk sektoral Kementrian/Lembaga & pemda (Laporan Kantor Seketretariat Presiden (KSP), 2020). Ini belum termasuk refoccussing anggaran pemerintah daerah (pemda) terkait dampak pandemi COVID-19.

Di tahun 2021, anggaran program perlindungan sosial menjadi Rp 419,3 triliun untuk percepatan pemulihan sosial dan reformasinya. Anggaran menyebar melalui bantuan kepada masyarakat berupa; program keluarga harapan, kartu sembako, bansos tunai, dan kartu pra kerja; mendorong program reformasi perlindungan sosial komprehensif berbasis siklus hidup dan antisipasi aging population; penyempurnaan data terpadu DTKS dan perbaikan mekanisme penyaluran program perlindungan sosial, serta penguatan monitoring dan evaluasi (Pidato Presiden, Nota Keuangan APBN 2021).

Baru kali pemerintah Indonesia mengobral kebaikan terhadap rakyat. Saya tidak bisa membayangkan ini terjadi di tahun sebelumnya?”, ungkap Hamong Santono, konsultan pembangunan, dalam diskusi, “Isu-isu Gender dalam Masa Pandemi COVID-19”, diadakan Institut KAPAL Perempuan dan mitranya termasuk KPS2K (Kelompok Perempuan Sumber-Sumber Kehidupan), Rabu, 2 Desember 2020.

Sayangnya wajah “negara baik” melalui berbagai bantuan belum mengintegrasikan perspektif gender by desain. Oke, kita sepakat bahwa penerima bantuan realitasnya perempuan atau kelompok rentan — yang menjadi target otomatis. Sejatinya sedari awal, semua program dan kebijakan — apalagi di masa bencana — mengintegrasikan perspektif gender.

Peraturan Kepala Bandan Nasional Penanggulangan Bencana No.13 Tahun 2014 tentang Pengarusutamaan Gender Di Bidang Penanggulangan Bencana jelas mengaturnya. Pasal 17, menyebutkan bahwa “Tanggap darurat responsive gender dilaksanakan dengan; a) melibatkan perempuan dan laki-laki secara aktif dalam menyusun rencana tanggap darurat; b) memastikan adanya perwakilan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam tim kaji cepat; c) memprioritaskan kelompok rentan untuk menghindari kekerasan berbasis gender.” Namun implementasinya, baik di struktur gugus tugas dan program masih netral gender. Baru setelah Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berkirim surat kepada Kepala BNPB RI bernomor B-31/MPP-PA/PA.01.02/03/2020 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Percepatan Penangangan COFID-19, perubahan mulai tampak.

Budhis Utami, deputy Institut KAPAL Perempuan, narasumber lain diskusi mendorong “kebaikan negara” harus responsif gender. Pengalaman BNPB di awal Covid-19 yang memberikan bantuan emergency tanpa berdasarkan kebutuhan yang responsif gender dan inklusif jadi pembelajaran. Paska masyarakat sipil bersuara dan dipertegas surat KemenPPPA RI diatas, bantuan pun ditambah kebutuhan spesifik perempuan seperti; pembalut, susu anak, dll, serta perbaikan mekanisme dan akses sesuai kebutuhan penerima dan inklusif. 

Sejatinya, jauh sebelum itu, sekolah perempuan, kaum perempuan basis yang tergabung di kelompok pembelajaran komunitas, difasilitasi Insitut KAPAL Perempuan dan KPS2K di Gresik menginisiasi berbagai kegiatan merespon Covid-19. Contohnya bersama KPS2K, sekolah perempuan menjabarkan SE (Surat Edaran) berjudul “Surat Edaran Bersama Untuk Pencegahan Penyebaran Virus Covid-19” dengan bahasa mudah dipahami. Sekolah perempuan melengkapinya dengan daftar bahan pangan sehat nan mudah didapat di lampiran. Yaitu makanan bernutrisi dan bergizi untuk memperkuat imunitas tubuh, seperti; sayuran (bayam, wortel, buncis, kacang-kacangan, dsb), buah-buahan (jeruk, papaya, mangga, dsb) yang melimpah di sekitar rumah. Bahkan beberapa aparat desa mengadopsinya dalam surat edaran desa. Kemudian, saat pandemi berjalan setengah tahun, sekolah perempuan aktif memperbaharui data penirima bantuan perlindungan sosial di masing-masing desa.

Lebih daripada itu, sekolah perempuan juga berinovasi menciptakan peluang kerja berdasarkan sumberdaya lokal sekitar. Berbagai inisiatif tercipta. Seperti apa yang dikerjakan Elly, anggota sekolah perempuan Gresik. Setelah didampingi KPS2K (Kelompok Perempuan Sumber2 Kehidupan), ia memunculkan ide usaha. “Bersama anggota sekolah perempuan, saya menanam sayuran organik dan gak laku. Otomatis nganggur. Kami berfikir bagaimana cara menghasilkan sesuatu. Munculah ide membuat jamu, seperti; temu lawak, kunyit asem, beras kencur, dsb. Eh ternyata masyarakat suka. Membuat jamu itu mudah. Bahannya didapat sekitar pekarangan. Pasarnya melimpah. Kini, kami kerjasama beberapa toko, warung, reseler serta melalui on line”, ungkapnya di Friday Talk KAPAL Perempuan, bertajuk “Kebertahanan Ekonomi Perempuan Masa Pandemi Covid-19”, Jumat, 14 Agustus 2020. Banyak kreatifitas ekonomi tumbuh setelah pandemi merebak. Semoga daya “ketahanan” perempuan basis — termasuk anggota sekolah perempuan — makin lenting dan kuat di masa-masa sulit.

Meski perempuan — dalam taraf tertentu — bisa bertahan, namun di masa pandemi ada “anacaman” lain yang menghantuinya. Yaitu maraknya kekerasan berbasis gender. Data Komnas Perempuan RI menggambarkan kenaikan angka kekerasan berbasis gender di masa pandemi Covid-19. Komnas menerima 892 pengaduan langsung hingga Mei 2020. Terdapat 69% terjadi kasus KDRT (kekersan dalam rumah tangga) di tingkat personal, dan 30 % kekerasan di ranah komunitas. Sementara bentuk KDRT nya adalah berupa kekerasan psikis sebanyak 398 laporan, dan kekerasan terhadap terhadap istri sebanyak 170 laporan. Gambaran ini dipertegas dengan survei Komnas sepanjang April – Mei 2020 kepada 2.285 laki-laki dan perempuan mengungkapkan 10,3% mengaku hubunganya dengan pasangnya semakin tegang semenjak Covid-19 (katadata.co.id, 22 September 2020).

Data diatas menggambarkan bahwa kondisi perempuan dan kelompok rentan lain menerima dampak berbeda di masa pandemi Covid-19. Pandemi juga menginformasikan bahwa berbagai kebijakan dan program compang-camping dalam mengintegrasikan perspektif gender di dalamnya.

Di sini, kita berterima kasih atas upaya Kemendes (Kementrin Desa) dan KemenPPA yang menandatangani dan mendeklarasikan “Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak”, 11 Nopember 2020, di hotel Grand Sahid, Jakarta. “Panduan Fasilitasi Pemberdayaan Perempuan di Desa”, yang disusun Institut KAPAL Perempuan, PEKKA, MAMPU dan KOMPAK, yang menekankan peran perempuan desa dalam mencegah kekerasan, melengkapi inisiatif kementrian. Hal itu seperti tertulis di visi pemberdayaan perempuan di Desa, yaitu, “Mewujudkan Desa Berkeadilan Gender, di mana kepemimpinan perempuan dapat memastikan terwujudnya kesetaraan gender dalam pembangunan Desa”.

Pertanyaanya, apakah “negara baik responsif gender” mampu berkelanjutan hingga pandemi berakhir? Bila jawabannya iya, berarti Indonesia sedang menuju cita-citanya, yaitu terwujudnya negara kesejahteraan (welfare state) dimana nilai keadilan gender dan inklusifitas dijunjung tinggi. Namun, bila “negara baik responsif gender” loyo paska pandemi, semua aktor non negara harus mengingatkan dengan suara keras. Semoga “negara baik responsif gender” menjadi landasan berfikir dan idiologi pembangunan bangsa hingga kapan pun. Semoga

(Penulis, Mh Firdaus, Dewan Penasehat KPS2K and Anggota Dewan Eksekutif Institut KAPAL Perempuan)

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn

Kantor

Perumahan Rezan’na Regency No. 32

Anggaswangi, Kec. Sukodono

Kab.Sidoarjo 61258, Jawa Timur 61258

© 2014 – 2023 Kelompok Perempuan dan Sumber-Sumber Kehidupan

Bank Mandiri

KPS2K

1420005411094