Mengenal Ekologi Pikiran

Mengenal Ekologi Pikiran

Mengenal Ekologi Pikiran

oleh Dani Wahyu Munggoero

Ada yang mengganggu pikiran saya minggu ini. Gangguan itu datang dari para selebriti pemikir sistim yang menyatakan dunia itu satu. Ini penipuan yang menyesatkan. Dunia sesungguhnya bukanlah kumpulan benda-benda yang terpisah. Ia adalah jalinan hubungan yang tak bertepi, sebuah tarian tanpa akhir. Nora Bateson, dalam bukunya,”Lengkung Kecil dalam Lingkaran Besar” mengajak kita melihat keindahan dalam jalinan itu. Ia mewarisi sebuah cara pandang dari ayah dan kakeknya, Gregory dan William Bateson. Sebuah cara pandang yang tidak mencari jawaban akhir yang beku. Melainkan, ia merayakan proses belajar yang terus bergerak dan hidup.

Buku ini bukanlah sebuah peta dengan tujuan yang pasti. Ia adalah kompas yang menunjuk pada pentingnya konteks. Sebuah undangan untuk merasakan lengkungan-lengkungan kecil dalam lingkaran kehidupan yang lebih besar.

Jebakan Pemikiran Terpisah

Kita sering diajarkan untuk memecah dunia menjadi kotak-kotak kecil. Sains di satu kotak, seni di kotak lain, dan perasaan di kotak yang terlupakan. Bateson menyebutnya sebagai “mono-cropping mental” atau monokultur pikiran.Praktik ini membuat ladang pemikiran kita menjadi gersang dan tidak subur. Kita kehilangan kemampuan untuk melihat bagaimana ekonomi terhubung dengan ekologi. Bagaimana trauma pribadi berkelindan dengan krisis politik global. Dalam sebuah kisah yang menyentuh, Bateson mengenang ayahnya yang menangis di halte bus. Sang ayah berduka melihat bagaimana sistem sekolah akan “merusak” pikiran anaknya. Mereka akan memaksanya melihat dunia dalam kepingan-kepingan yang mati.

Ekologi Pikiran

Bateson menawarkan sebuah jalan keluar: melihat pikiran sebagai sebuah ekologi. Pikiran bukanlah mesin di dalam tengkorak kita yang dingin. Ia adalah sebuah taman gagasan yang hidup, dinamis, dan saling bergantung. Dalam taman ini, ide-ide tumbuh, berinteraksi, dan bahkan menjadi kompos. Gagasan lama yang membusuk memberi nutrisi bagi tunas-tunas pemikiran baru. Tidak ada yang benar-benar hilang, semuanya bertransformasi.

Ekologi pikiran ini tidak hanya ada di dalam diri kita. Bateson juga menunjukkan adanya “pikiran dalam ekologi”. Kecerdasan sebuah hutan, kearifan sebatang sungai, adalah pikiran yang tersebar di mana-mana. Dunia alam bukanlah objek yang pasif dan lembam. Ia adalah subjek yang terus-menerus berkomunikasi dan belajar bersama kita. Kita adalah bagian dari percakapan raksasa yang telah berlangsung selama jutaan tahun.

Bahasa untuk Kompleksitas

Lalu, bagaimana kita berbicara tentang kerumitan ini? Bateson menunjuk pada sibernetika, teori sistem, dan kompleksitas. Inilah bahasa-bahasa yang mencoba memahami pola-pola yang menghubungkan. Sibernetika bukanlah tentang robot atau mesin. Ia adalah studi tentang umpan balik dan komunikasi dalam sebuah sistem. Ia bertanya bagaimana sebuah sistem belajar dan mengatur dirinya sendiri.

Teori sistem mengajak kita untuk melihat keseluruhan, bukan hanya bagian-bagiannya. Kesehatan seekor singa tidak bisa dipisahkan dari kesehatan sabana tempatnya hidup. Demikian pula, kesehatan kita tak bisa dilepaskan dari kesehatan masyarakat dan bumi. Kompleksitas mengakui bahwa dari interaksi sederhana, bisa muncul pola yang tak terduga. Kehidupan tidak berjalan lurus seperti anak panah. Ia menari dalam ketidakpastian yang kreatif dan mengejutkan.

Kekuatan Konteks

Inilah inti dari pemikiran Bateson: konteks adalah segalanya. Makna tidak terletak pada benda atau peristiwa itu sendiri. Makna lahir dari hubungan di antara berbagai konteks. Dalam sebuah cerita yang kuat, ayahnya menghadapi seorang perampok bertodong pisau di dalam mobil. Alih-alih panik, ia justru memulai percakapan yang hangat dan penuh rasa ingin tahu. Dengan mengubah konteks dari “ancaman” menjadi “kisah manusia”, seluruh situasi berubah.

Inilah yang disebut “transkontekstualitas”. Kemampuan untuk melompat dari satu bingkai pemahaman ke bingkai lainnya. Sebuah keterampilan yang sangat dibutuhkan di zaman yang penuh krisis tumpang-tindih ini. Kita tidak bisa menyelesaikan masalah dengan cara berpikir yang sama dengan yang menciptakannya. Kita perlu belajar menari di antara berbagai konteks. Dengan begitu, pilihan-pilihan baru yang tak terduga akan muncul.

Seni sebagai Jalan Menuju Kearifan

Namun, sains dan logika saja tidak akan pernah cukup. Ada wilayah pengetahuan yang hanya bisa disentuh melalui seni dan keindahan. Seni memungkinkan kita untuk memegang banyak kebenaran pada saat yang bersamaan. Sebuah puisi, sebuah lukisan, atau sebuah lagu tidak memberikan jawaban tunggal. Ia membuka ruang bagi ribuan interpretasi yang berbeda. Ia merayakan subjektivitas dan keragaman cara kita merasakan dunia. Bateson membahas patung “Daphne dan Apollo” karya Bernini sebagai metafora hubungan kita dengan alam. Sebuah kisah cinta yang tragis, tentang hasrat untuk memiliki yang justru menghancurkan. Seni mengingatkan kita untuk mencintai tanpa harus menaklukkan.

Belajar Bersama dalam Kehidupan

Pada akhirnya, buku ini adalah tentang pembelajaran timbal balik. Sebuah konsep yang disebut symmathesy: belajar bersama. Kita tidak belajar sendirian, kita selalu belajar dalam hubungan.Kisah tentang putranya yang merasa sekolah dipenuhi “zombi” adalah contoh yang indah. Zombi adalah mereka yang tidak bisa berpikir untuk diri sendiri. Alih-alih menghukum, Bateson justru mengubahnya menjadi sebuah permainan dan momen belajar bersama. Ia dan putranya menemukan jalan keluar bukan dengan melawan sistem secara frontal. Melainkan dengan memahami polanya dan menari bersamanya. Inilah inti dari bertahan hidup dengan martabat di dunia yang kompleks.

Sebuah Undangan

“Lengkung Kecil dalam Lingkaran Besar” tidak menawarkan solusi yang mudah. Ia tidak memberikan 10 langkah untuk menyelamatkan dunia. Buku ini adalah sebuah cermin yang memantulkan cara kita berpikir. Kita diajak untuk lebih rendah hati dan mengakui ketidaktahuan kita. Untuk lebih berani dalam merasakan dan lebih luwes dalam berpikir. Untuk merawat hubungan, bukan mengumpulkan fakta.

Pada akhirnya, kita adalah lengkungan-lengkungan kecil dalam lingkaran besar kehidupan. Setiap tindakan kita, sekecil apa pun, menciptakan riak dalam keseluruhan. Dan dalam kesadaran itulah, terletak harapan dan tanggung jawab kita.

Penutup: Etika dari Jalinan

Maka, gagasan bahwa “dunia itu satu” memang sebuah penipuan yang berbahaya. Ia menghapus perbedaan, padahal kehidupan justru lahir dari “perbedaan yang membuat perbedaan”. Keindahan tidak terletak pada kesatuan yang kabur, melainkan pada estetika hubungan itu sendiri. Cara pandang ini melahirkan sebuah etika yang baru. Jika semua terhubung, maka tidak ada tindakan yang terisolasi. Tanggung jawab kita bukanlah pada aturan yang kaku, melainkan pada kualitas dari setiap jalinan yang kita sentuh. Jalan ke depan bukanlah sebuah cetak biru yang dirancang para ahli. Ia adalah proses symmathesy yang berantakan dan tak pernah selesai. Kita harus menciptakan ruang-ruang aman untuk belajar bersama, dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Ini menuntut kita untuk hidup nyaman dalam paradoks. Kita terpisah sekaligus menyatu, kita adalah individu sekaligus bagian dari konteks. Kearifan tidak terletak pada jawaban yang pasti, tetapi pada kemampuan menahan ketegangan kreatif ini. Tugas kita, pada akhirnya, bukanlah untuk memperbaiki bagian-bagian dunia yang rusak. Tugas kita adalah menjadi perawat konteks, penjaga ruang-ruang “di antara”. Sebab di sanalah, dalam lengkung-lengkung kecil itu, kesehatan lingkaran besar kehidupan ditentukan.

Organisasi, seperti hutan, adalah ekosistem yang hidup, bukan mesin mati. Memandangnya melalui lensa sistem berarti melihat jalinan percakapan, relasi, dan sejarah yang tak terlihat. Kesehatan organisasi tidak diukur dari efisiensi suku cadangnya, melainkan dari vitalitas hubungannya. Di sinilah sibernetika dan kompleksitas menjadi kompas, bukan peta. Sibernetika mengajarkan kita tentang tarian umpan balik, cara organisasi belajar dari getarannya sendiri. Kompleksitas membisikkan bahwa perubahan tak bisa dikendalikan dan dirancang, ia hanya bisa dipengaruhi melalui pola-pola interaksi.

Maka, kepemimpinan bukanlah soal perintah dari puncak menara. Ia adalah seni merawat taman, menyuburkan tanah agar kemungkinan baru bisa bertunas. Dalam perubahan yang konstan, organisasi yang hidup tidak mencari peta yang pasti, ia mengasah kepekaannya untuk terus belajar bersama.***

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn

Kantor

Perumahan Rezan’na Regency No. 32

Anggaswangi, Kec. Sukodono

Kab.Sidoarjo 61258, Jawa Timur 61258

© 2014 – 2023 Kelompok Perempuan dan Sumber-Sumber Kehidupan

Bank Mandiri

KPS2K

1420005411094