Pendidikan merupakan hak yang harus diperoleh semua warga negara, seperti yang tertulis dalam pasal 5 UU RI tentang sistem pendidikan nasional. Namun pada pelaksanaannya pendidikan salah satu bidang yang sering dipandang memiliki masalah bias gender. Persoalan bias gender dalam pendidikan bukan dari aspek pendidikan itu sendiri, melainkan dari para pelaku dunia pendidikan yang sering mengabaikan aspek kesetaraan gender di dalamnya.

Di satu sisi peran pendidik sering diidentikkan dengan perempuan karena pekerjaan ini lebih mengutamakan kesabaran, ketelatenan, dan kepedulian yang hal tersebut identik dengan sifat feminin kaum perempuan, sementara disisi lain akses kaum perempuan ke dunia pendidikan masih merupakan masalah besar. Dibeberapa daerah Indonesia masih sering dijumpai persoalan orang dewasa tidak bisa baca-tulis atau tuna aksara, dan kebanyakan adalah perempuan. Contohnya di daerah Gresik, betapa gambaran kemiskinan itu terlihat jelas karena ternyata masih banyak perempuan yang tuna aksara. Sebagian besar perempuan disana belum bisa hidup mandiri, sehingga hanya menggantungkan hidupnya kepada laki-laki (suami). Hal itu dikarenakan tingkat pendidikan mereka rata-rata adalah lulusan sekolah dasar, ada yang tidak lulus sekolah dasar, banyak juga yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal.

Rendahnya partisipasi perempuan ke dunia pendidikan antara lain karena masih berkembangnya anggapan bahwa kaum laki-laki adalah tulang punggung keluarga, dengan demikian kaum laki-laki lebih diprioritaskan dibanding kaum perempuan. Sehingga hanya kaum laki-lakilah yang berhak memeroleh pendidikan karena mereka harus mendapat pekerjaan yang layak untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sementara perempuan tidak memiliki tanggung jawab sebesar laki-laki dalam hal memeroleh pekerjaan dan memberi nafkah keluarga, kewajiban perempuan hanya sebatas mengurus dapur dan anak. Hal tersebut membuat angka pernikahan dini sangat tinggi, karena mereka menganggap pernikahan adalah salah satu cara untuk memperbaiki ekonomi.

Pada akhirnya perempuan-perempuan desa yang sudah memasuki usia 16 tahun harus segera dinikahkan, padahal usia 16 tahun masuk dalam usia anak yang secara psikis belum siap menikah. Juga diatur dalam undang-undang perlindungan anak. Namun hal itu masih dilakukan karena orang tua mereka merasa sudah tidak sanggup membiayai sekolah, sehingga pernikahanlah jalan satu-satunya. Begitu maraknya hal tersebut, akhirnya menimbulkan anggapan baru bahwa perempuan yang sudah melewati usia 18 tahun dan belum menikah disebut “perawan kasep” dianggap tidak laku, karena perempuan seusianya sudah menikah semua.

Sejalan dengan emansipasi dan gerakan kesetaraan gender, sekolah perempuan hadir untuk meningkatkan kualitas perempuan terutama dalam hal pendidikan dan kesehatan. Jika hak memeroleh pendidikan untuk perempuan sudah terpenuhi, perempuan tinggal mengembangkan potensi diri. Dengan demikian perempuan akan bisa mandiri, sehingga bisa membantu meningkatkan ekonomi keluarga. Perempuan juga bisa berbagi peran dengan suami, yang selama ini suami hanya bertugas mencani nafkah sekarang bisa membantu mengurus anak. Perubahan-perubahan tersebut akan mengurangi angka kemiskinan secara signifikan.

Sekolah perempuan merupakan aplikasi dari program Gender Watch (pemantauan berbasis gender), yang dilakukan KPS2K di wilayah Gresik. Ada empat desa yang masuk dalam program Gender Watch, dengan sekolah perempuan diharapkan perempuan-perempuan desa dapat berperan serta dalam pembangunan desa. Pada awal pembentukan sekolah perempuan banyak sekali yang menanyakan, apakah mendapat mendapat uang ketika mengikuti sekolah perempuan. Hal ini bisa dimaklumi karena seringkali perempuan desa diundang ketika ada pembagian dana bantuan, mereka tidak pernah diundang hanya untuk berdiskusi atau dimintai pendapat terkait pembangunan desa. Karena perempuan desa dianggap tidak mampu, pengetahuan mereka terbatas. Apalagi untuk mengusulkan program pembangunan desa.

Perempuan-perempuan desa sangat senang dengan dibentuknya sekolah perempuan, mereka berantusias sekali untuk meningkatkan kemampuannya. Selama ini yang mereka lakukan hanyalah mengurus anak, memasak, dan membersihkan rumah. Untuk sekedar berinteraksi dan berdiskusi dengan tetangga pun jarang. Mereka merasa sangat terbantu dengan sekolah perempuan, sekolah perempuan membuat mereka tidak ketinggalan informasi. Perkembangan teknologi membuat penyampaian informasi sangatlah cepat, namun selama ini hal itu tidak pernah mereka rasakan. Meskipun disetiap rumah sudah memiliki televisi. Mereka masih belum mengetahui cara menggunakan perlindungan sosial yang mereka miliki, contohnya jamkesmas.

Dengan adanya sekolah perempuan, diharapkan perempuan tidak lagi dipandang sebagai sosok lemah yang selalu berada pada garis belakang. Kemampuan yang dimiliki oleh perempuan minimal harus sebanding dengan laki-laki. Sehingga perempuan bisa tampil di garis depan sebagai pemimpin yang sukses dalam berbagai sektor kehidupan, yang selama ini justru dikuasai oleh kaum laki-laki.

 

(Rany Arvialita)